Majunya suatu negara tidak bisa dilepaskan dari tingkat literasinya. Mengapa? Karena keliterasian tidak dapat dipisahkan dari praktik kemajuan pendidikan di suatu negara. Salah satu contoh konkretnya adalah Finlandia.

Finlandia adalah salah satu negara dengan tingkat pendidikan yang dinilai terbaik di dunia. Sebuah laporan terbaru tahun 2015 yang disusun oleh European Literacy Policy Network (ELINET) bertajuk Literacy in Finland: Country Report Children and Adolescent menyajikan data bahwa 44%  anak-anak di Finlandia menyatakan menikmati kegiatan membaca. Oleh sebab itu, ada relasi kuat antara kegemaran membaca dan performa pendidikan di Finlandia.

Lantas bagaimana tingkat literasi di Indonesia? Apakah masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran untuk menjadikan kegiatan membaca sebagai gaya hidup? Simak pemaparannya di sini!

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk di Indonesia di atas 15 tahun yang melek huruf mencapai 96,07%. Hal ini membuktikan seharusnya Indonesia berpotensi memiliki minat baca yang baik. Namun, faktanya justru berbanding terbalik.

 

Rendahnya Minat Baca

Menurut data UNESCO tahun 2012, angka minat baca anak Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada 1 dari 1.000 orang yang memiliki minat baca serius. Bukan itu saja, berdasarkan penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara. Respondennya anak-anak sekolah usia 15 tahun dengan sampel sekitar 540 ribu orang.

Penelitian lain dari Central Connecticut State University (CCSU) yang diumumkan Maret 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada Finlandia disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman.

Dikutip dari Kompas.com, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Data ini berdasarkan hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017. Data yang diambil dari Ikapi juga lebih mencengangkan lagi. Rata-rata orang Indonesia hanya membeli 2 buku per tahun. Bayangkan? Betapa sedikitnya jumlah tersebut.

Karena fakta tersebut didukung juga oleh survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2012. Dikatakan, hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%.

 

Sulitnya Akses Buku

Melihat pemaparan data di atas, tentu kita jangan langsung menyalahkan individunya. Dikutip dari Kompas.com, menurut Pendiri Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia, Trini Hayati, salah satu penyebab rendahnya minat baca anak adalah kesulitan akses untuk mendapatkan buku. Semangat baca yang tinggi pun menjadi tidak berarti tanpa adanya buku yang bisa dibaca.

“Rasa tertarik ada tapi untuk mendapatkan akses buku susah. Jadi, minat baca anak kurang,” ujar Trini, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (11/5/2017).

Ibnu Wahyudi, pengamat sastra dan pengajar penulisan kreatif dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, juga mengatakan, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini dikarenakan minimnya akses terhadap buku. “Tidak semua sekolah memiliki perpustakaan yang layak. Demikian pula perpustakaan daerahnya,”

Hal ini tentu diperkuat dengan data Perpusnas RI pada 2015 yang menyebut dari 170.647 sekolah dasar di Indonesia, hanya 45,9 persen diantaranya yang memiliki perpustakaan. Sisanya sekitar 92 ribu sekolah dasar tidak memiliki perpustakaan di mana paling banyak berlokasi di daerah Indonesia Timur, mulai dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Maluku hingga Papua

Alhasil, buku-buku yang mereka dapatkan mungkin tidak sesuai harapan, tidak sesuai dengan klasifikasi umur, dan kondisi buku yang kurang baik. Hal ini yang menjadi salah satu faktor rendahnya minat baca orang Indonesia.

 

Gempuran Teknologi

Kemajuan teknologi yang ada seharusnya menjadi penopang untuk ikut menyebarkan buku-buku ke seluruh pelosok Nusantara. Tapi kenyataannya, kemajuan teknologi membuat orang menjadi malas untuk membaca halaman per halaman buku. Semuanya bisa didapatkan secara instan di internet. Akibatnya, mereka lebih cenderung hanya melihat sinopsis, review singkat di blog ataupun media sosial, lalu selebihnya mereka hanya akan menerka-nerka cerita tersebut.

Selain akses buku yang terbatas dan teknologi, membaca buku belum menjadi gaya hidup bagi semua orang. Kegiatan membaca buku selalu dikaitkan dengan sesuatu yang serius dan membosankan. Selain itu, kita tidak pernah diperkenalkan kepada buku sejak dini, baik itu oleh orang tua di rumah maupun di sekolah. Sekolah hanya memperkenalkan buku-buku pelajaran. Seharusnya, teknik penyampaian pelajaran kepada murid bisa diselipi dengan hadirnya buku dongeng yang ada saat ini agar dari kecil kita terbiasa untuk senang membaca.

Jadi, yuk mulai berpikir bagaimana menumbuhkan minat baca jangka panjang. Caranya? Mulai dari langkah kecil untuk membiasakan diri membaca buku sedikit demi sedikit. Jadikan kegiatan membaca sebagai gaya hidup saat ini.

Terakhir, ada satu kutipan dari penyair asal Rusia, Joseph Brodsky yang mungkin dapat jadi pengingat untuk kita semua.

“Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya”

Diolah dari berbagai sumber dengan penyesuaian

X