Refleksi sederhana seorang Dengkuler berdasarkan hasil pembelajaran analisa sosial ala Dekonstruksi

Sebuah pameo lama terdengar lamat-lamat dari pedalaman Gunung Kidul. Pameo tersebut diucapkan seorang guru yang telah kaffah berbahasa, guru kami, Emmanuel Subangun. Beliau menutup sesi pembelajaran malam itu dengan kalimat dalam bahasa Jawa cedhak watu adoh ratu yang kami tafsir sederhana dalam anasir politik dengan bunyi dekat dengan batu jauh dari ratu.

Tafsir demikian menjadi fakta politik kita hari ini, di mana negara kerap tidak hadir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dasar yang dihadapi rakyat.

Negara yang kemudian mewujud dalam mesin birokrasi, masih sebatas asyik melayani dirinya sendiri. Pembangunan disusun dengan pola teknokratis, yang kerap lebih mengedepankan keinginan pemangku kekuasaan, dibandingkan menjawab kebutuhan rakyat. Lalu, untuk apa slogan pemimpin merakyat disuarakan?

Wajah potret politik kita semakin buram ketika pemilihan kepala negara maupun pemerintahan di daerah secara langsung hanya menjadi semacam seremonial demokrasi lima tahunan. Sebab, pemimpin yang terpilih, tak serta merta mampu merubah wujud birokrasi yang menjadi mesin pelaksana kebijakan. Asumsi demikian penulis sebut dengan birokrasi autis, yaitu birokrasi yang hanya sibuk melayani dirinya sendiri.

Reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin terbuka pada informasi. Segala konsep yang digelontorkan, hanya menjadi semacam macan ompong, keras mengaum, namun lemah mencakar. Lalu, apa daya seorang kepala daerah di hadapan mesin birokrasi demikian?

Hasil yang tampak kemudian, segala yang diidam-idamkan oleh kepala daerah jenius sekalipun, kerap hanya menjadi mimpi di kepalanya sendiri. Sebab, ia harus bertarung sendirian menghadapi budaya birokrasi feodalis warisan penjajah yang telah berurat akar hingga butuh menebasnya dengan satu terobosan yang mempertaruhkan banyak kemungkinan.

Tak sedikit kepala daerah yang saat kampanye menjanjikan banyak hal, akhirnya menyerah di depan kuasa birokrasi. Kuasa yang tak kasat mata, sebab birokrasi di kita, memiliki nalar burung beo : pandai mengucapkan kembali apa yang didengarnya, namun tak mampu mereproduksi pengetahuan sendiri.

Mengapa saya berpendapat demikian? Sebab birokrasi kita belum menjadi organisasi pembelajar yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Masih menjadi mesin feodalis yang bangga dengan beragam atribut pangkat, asyik dengan fasilitas, dan lupa pada pada persoalan rakyat.

Maka tak heran jika pameo cedhak watu adoh ratu masih terdengar, sebab rakyat memang hidup jauh dari kehadiran negara.

Dengan fakta politik demikian, apa yang bisa diharapkan rakyat dari Pilkada serentak, selain mengais remah-remah rejeki dari ‘serangan fajar’, atau mengkonsumsi beragam janji manis politisi. Setelah itu, kembali bergelut sendiri, bertahan dalam arus zaman yang semakin menunjukkan sisi kekejamannya.

Semoga celotehan ini hanya imajinasi saya yang kurang membaca, atau sekedar igauan karena belum menemukan uli bakar.

Selamat berdialektika untuk para sahabat di forum diskusi daring Komunitas Secangkir Kopi.

Salam hangat secangkir kopi

Penulis : Romly Revolvere

X